Parameter Kimia 1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perairan umum adalah bagian
permukaan bumi yang secara permanen atau berkala digenangi oleh air, baik air
tawar, air payau maupun air laut, mulai dari garis pasang surut terendah ke
arah daratan dan badan air tersebut terbentuk secara alami ataupun buatan.
Perairan umum tersebut diantaranya adalah sungai, danau, waduk, rawa, goba,
genangan air lainnya (telaga, kolong-kolong dan legokan).
Waduk atau danau buatan adalah genangan
air yang terbentuk karena pembendungan aliran sungai oleh manusia. Perairan
waduk umumnya mempunyai kedalaman dan luas permukaan berfluktuasi kecil.
Fluktuasi tersebut sangat ditentukan oleh fungsi waduk yaitu sebagai pembangkit
tenaga listrik, pengendali banjir, pengairan, MCK, kegiatan budidaya ikan, rekreasi
dan perikanan.
Dengan terbentuknya perairan waduk maka
kegiatan perikanan menjadi mata pencaharian pokok maupun mata pencaharian
sambilan bagi penduduk disekitar waduk yang kehilangan lahan usaha akibat
pembenduangan waduk. Usaha perikanan.
Air merupakan sumber daya alam yang
memiliki manfaat bagi keberlangsungan hidup manusia serta makhluk hidup
lainnya. Sungai merupakan tempat dan wadah serta jaringan pengaliran air dari
mata air sampai ke muara (Suharti, 2004).
Salah satu metode umum dalam peramalan debit air sungai
adalah dengan menggunakan analisis time series berdasarkan data masa
lalu yang relevan. Seiring berkembangnya pengetahuan, analisis time series mengalami
perubahan dalam dekade terakhir. Meskipun demikian, masih terdapat
aplikasi-aplikasi dimana estimasinya akurat untuk digunakan dalam analisis time
series, seperti model Autoregressive Moving Average (ARMA).
(Mohammadi, 2006).
Selanjutnya Sihotang (1989) mengemukakan, waduk adalah
bentuk perairan yang terletak diantara perairan sungai dan danau. Setiap waduk
mempunyai morfologi yang unik, oleh karena itu tidak dapat digeneralisasikan
antara satu waduk dengan waduk yang lain karena di waduk terdapat perbedaan
yang menyolok antara lotik dan lentik.
Menurut Sihotang
(1989), ciri khas waduk adalah mempunyai aliran yang searah dari sungai utama.
Waktu pergantian air relatif singkat. Perkembangan trofiknya memperlihatkan
eutrofik yang akan berubah menjadi oligotrofik. Nutrien yang kaya akan
memperlihatkan produktivitas dan setelah pengaliran air yang searah akan
membuang nutrien ke sungai di bagian bawah. Menurut Carlo (2001), waduk
merupakan tempat yang digunakan untuk menyimpan air sebelum diolah baik untuk
air minum ataupun keperluan lain, lazimnya waduk dan danau sebagai tempat
penyimpan air dengan kualitas yang baik.
1.2. Tujuan
Tujuan
diadakan Praktikum ini adalah untuk mengetahui jumlah oksigen terlarut dan
karbondioksida bebas serta alkalinitas dari waduk.
1.3. Manfaat
Adapun
manfaat yang diperoleh adalah mengetahui cara menghitung dan meneliti jumlah
oksigen dan karbondioksida bebas serta alkalinitas di suatu perairan khususnya
perairan waduk.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. OKSIGEN TERLARUT (DO)
Oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses
metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk
pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi
bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam
suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil
fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (SALMIN, 2000).
Kecepatan difusi oksigen dari udara,
tergantung sari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas,
pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut. ODUM
(1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan
semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Pada lapisan
permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara
air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya
kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses
fotosintesis semakin berkurang
dan kadar oksigen yang ada banyak
digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik
Keperluan organism terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis,
stadium dan aktifitasnya.
Kebutuhan oksigen untuk ikan
dalam keadaan diam relative lebih sedikit apabila dibandingkan dengan ikan pada
saat bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat menggunakan
oksigen dari udara bebas, memiliki daya tahan yang lebih terhadap perairan yang
kekurangan oksigen terlarut (WARDOYO, 1978).
Kandungan oksigen terlarut (DO)
minimum adalah 2 ppm dalam keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa
beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup
mendukung kehidupan organisme (SWINGLE, 1968). Idealnya, kandungan oksigen
terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya
pada tingkat kejenuhan sebesar 70 % (HUET, 1970). KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut
adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (ANONIMOUS, 2004).
Oksigen memegang peranan penting
sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam
proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen
juga menentukan khan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobic atau
anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi
bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada
akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik, oksigen
yang dihasilkan akan 23 mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana
dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan
oksigen terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada
perairan secara alami maupun secara perlakuan aerobik yang ditujukan untuk
memurnikan air buangan industri dan rumah tangga.
Sebagaimana diketahui bahwa
oksigen berperan sebagai pengoksidasi dan pereduksi bahan kimia beracun menjadi
senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun. Disamping itu, oksigen
juga sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme tertentu,
seperti mikroorganisme, sangat berperan dalam menguraikan senyawa kimia beracun
rnenjadi senyawa lain yang Iebih sederhana dan tidak beracun. Karena peranannya
yang penting ini, air buangan industri dan limbah sebelum dibuang ke lingkungan
umum terlebih dahulu diperkaya kadar oksigennya.
Oksigen terlarut dapat
dianalisis atau ditentukan dengan 2 macam cara, yaitu :
1. Metoda titrasi dengan cara
WINKLER
Metoda titrasi dengan cara
WINKLER secara umum banyak digunakan untuk menentukan kadar oksigen terlarut.
Prinsipnya dengan menggunakan titrasi iodometri. Sampel yang akan dianalisis
terlebih dahulu ditambahkan larutan MnCl2 den Na0H - KI, sehingga akan terjadi
endapan Mn02. Dengan menambahkan H2SO4 atan HCl maka endapan yang terjadi akan
larut kembali dan juga akan membebaskan molekul iodium (I2) yang ekivalen dengan
oksigen terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan
standar natrium tiosulfat (Na2S203) dan menggunakan indikator larutan amilum
(kanji).
Reaksi kimia yang terjadi dapat
dirumuskan sebagai berikut :
MnCI2
+ NaOH Mn(OH)2 + 2 NaCI
2
Mn(OH)2 + O2 2 MnO2 + 2 H20
MnO2
+ 2 KI + 2 H2O Mn(OH)2 + I2 + 2 KOH
I2
+ 2 Na2S2C3 Na2S4O6 + 2 NaI
2. Metoda elektrokimia
Cara penentuan oksigen terlarut
dengan metoda elektrokimia adalah cara langsung untuk menentukan oksigen
terlarut dengan alat DO meter. Prinsip kerjanya adalah menggunakan probe
oksigen yang terdiri dari katoda dan anoda yang direndam dalarn larutan
elektrolit. Pada alat DO meter, probe ini biasanya menggunakan katoda perak
(Ag) dan anoda timbal (Pb). Secara keseluruhan, elektroda ini dilapisi dengan
membran plastik yang bersifat semi permeable terhadap oksigen. Reaksi kimia yang
akan terjadi adalah :
Katoda
: O2 + 2 H2O + 4_4 HO_
Anoda
: Pb + 2 HO_PbO + H20 + 2e_
Aliran reaksi yang terjadi
tersebut tergantung dari aliran oksigen pada katoda. Difusi oksigen dari sampel
ke elektroda berbanding lurus terhadap konsentrasi oksigen terlarut.
Penentuan oksigen terlarut (DO)
dengan cara titrasi berdasarkan metoda WINKLER lebih analitis apabila
dibandingkan dengan cara alat DO meter. Hal yang perlu diperhatikan dalam titrasi
iodometri ialah penentuan titik akhir titrasinya, standarisasi larutan
tiosulfat dan pembuatan larutan standar kaliumbikromat yang tepat. Dengan
mengikuti prosedur penimbangan kaliumbikromat dan standarisasi tiosulfat secara
analitis, akan diperoleh hasil penentuan oksigen terlarut yang lebih akurat.
Sedangkan penentuan oksigen
terlarut dengan H+ 24 cara DO meter, harus diperhatikan suhu dan salinitas
sampel yang akan diperiksa. Peranan suhu dan salinitas ini sangat vital
terhadap akurasi penentuan oksigen terlarut dengan cara
DO meter. Disamping itu, sebagaimana
lazimnya alat yang digital, peranan kalibrasi alat sangat menentukan akurasinya
hasil penentuan.
Berdasarkan pengalaman di lapangan, penentuan
oksigen terlarut dengan cara titrasi lebih dianjurkan untuk mendapatkan hasil
yang lebih akurat. Alat DO meter masih dianjurkan jika sifat penentuannya hanya
bersifat kisaran.
2.2. Karbondioksida (CO2) Bebas
Karbondioksida akan selalu bereaksi dengan air
hingga menghasilkan asam karbonat (H2CO3). Sumber utama CO2 dalam
perairan dapat berasal dari atmosfir dan hasil respirasi organisme perairan.
Udara yang selalu bersentuhan dengan air akan mengakibatkan terjadinya proses
difusi CO2 ke dalam air.
Kadar karbondioksida bebas di perairan Danau
Maninjau berkisar antara 7,2–8,76 mg/l, dengan kadar rata-rata 7,96 mg/l.
Karbondioksida yang terdapat di dalam air merupakan hasil proses difusi CO2
dari udara dan hasil proses respirasi organisme akuatik. Selain itu, CO2
di perairan juga dihasilkan dari penguraian bahan-bahan organik oleh bakteri. (Saeni, 1989)
Kadar karbondioksida bebas di perairan berkaitan
erat dengan bahan organik dan kadar oksigen terlarut (Sastrawijaya, 1991).
Peningkatan kadar CO2 diikuti oleh penurunan kadar oksigen terlarut.
Karbondioksida akan mempengaruhi proses pernafasan organisme perairan terutama
pada kondisi DO < 2 mg/l. Pada kondisi demikian, maka akan terjadi keracunan
CO2, sehingga daya serap oksigen oleh hemoglobin akan terganggu yang disebut
dengan methemoglobinemia. Keadaan ini dapat mengakibatkan organisme mati
lemas karena sesak nafas.
2.3. Alkalinitas
Alkalinitas merupakan penyangga (buffer)
perubahan pH air dan indikasikesuburan yang diukur dengan kandungan karbonat.
Alkalinitas adalah kapasitasairauntukamenetralkanatambahanaasamatanpaapenurunan nilai pH larutan. Alkalinitas mampu menetralisir keasaman di dalam air. Secara khusus
alkalinitassering disebut sebagai besaran yang menunjukkan kapasitas
pembufferan dari ion bikarbonat, dan tahap
tertentu ion karbonat dan hidroksida dalam air. Ketiga iontersebut dalam air akanabereaksiadenganaionahydrogenasehinggaamenurunkanakemasaman dan menaikkan pH.
Alkalinitas optimal pda nilai 90-150 ppm.Alkalinitas rendah diatasi dengan pengapuran dosis 5
ppm. Alkalinitas berperan dalam menentukan kemampuan air untuk
mendukung pertumbuhan alga dan kehidupan air lainnya, hal ini dikarenakan
:
1. Pengaruh system buffer dari alkalinitas;
2. alkalinitas berfungsi sebagai reservoir untuk karbon organic.
Sehingga alkalinitas diukur sebagai factor kesuburan air. (Hidayat, 2009)
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum
ini dilakasanakan pada hari Rabu tanggal 9 November 2011 pada pukul 10. 00 WIB di Laboratorium
Limnologi dan mengambil data di Waduk Faperika Universitas Riau.
3.2. Bahan dan alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam praktikum ini
adalah alat tulis, 90 Botol Oksigen atau
BOD, Erlemeyer , MnSO4, H2SO4, Na2CO3,
3.3. Metode Praktek
Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah metode Winkler
dengan cara tritasi.
3.4. Prosedur Praktikum
Dalam
kegiatan praktikum ini prosedur yang dilakukan adalah dengan mengukur lebar waduk dengan tali rafia kemudian
mengukur kedalaman waduk. Mencatat tinggi perairan dengan menggunakan 90 north
Weir dan hitung waktu dengan menggunakan stopwach.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Diketahui : W1 : 2 m W2
: 1,9 m W3 : 1,5 m
D1 : 0,5 m D2 : 0,4 m D3
: 0.35 m
T
: 32 detik H : 0,59 m L : 1,5 m A
: 0,8
Ditanya : a. Debit air ?
b. hasil mengunakan 90 north weir ?
Jawaban : a. Debit air
R := WDAL/ T
R = 1,8 m x 0,42 m x 0,8 x 1,5 m / 32 detik
= 0,03 m3/s
b. 90 north weir
Q
= 2,5 H5/2
= 2,5 x 0,59 5/2
= 1,3 m3/s
4.2. Pembahasan
Dari
hasil pengamatan yang dilakukan bahwa nilai debit air di waduk fakultas
perikanan dan ilmu kelautan adalah 0,03 m3/s dan nilai weir dengan
menggunakan 90 north weir adalah 1,3 m3/s.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari pangamatan yang
dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa nilai debit air di waduk fakultas perikanan
dan ilmu kelautan adalah 0,03 m3/s dan nilai weir dengan menggunakan
90 north weir adalah 1,3 m3/s.
5.2. Saran
Untuk lebih memahami materi sekaligus cara
kerja dari setiap praktikan maka diharapkan agar memahami materi yang akan
diujikan terlebih dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Bishop, J.E. 1973. Limnologi of Small Malaya
River Gombak. Dr. W.
Junk. V.B. Publisher the Hague. 205p.
Carlo, N., 2001. Efek Pengudaraan
terhadap Kualitas Air Waduk Tropika. Jurnal Lembaga PenelitianUniversitas
Gadjah Mada Yogyakarta . 3 (1): 1 – 7.
Dahril, T., 1998. Reformasi di
Bidang Perikanan Menuju Perikanan Indonesia Yang Tangguh Abad ke-21, hal 25-34.
Dalam Feliatra (editor) Strategi Pembangunan Perikanan dan Kelautan
Nasional Dalam Meningkatkan Devisa Negara. Universitas Riau Press, Pekanbaru.
Edmonson,
W. T., 1958. Fresh Water Biology. 2 nd. John Wiley and Sons, inc New York .
Ilyas. S, H. Atmadja,
S.K. Endi, P. Kunto dan S. Sisi, 1989. Petunjuk Teknis Pengelolaan Perairan
Waduk bagi Pembangunan Perikanan. Dirjen Perikanan, Jakarta . 19 hal.
Jorgensen, S.E., 1980. Lake Management .
Pergaman Press. Oxford .
167 hal.
Nontji. A, 1981. Faktor-Faktor yang
Berkaitan dengan Dinamika Kelimpahan Phytoplankton. Tesis. Fakultas Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor .
25 halaman. (tidak diterbitkan).
Sihotang, C., 1989.
Limnologi I. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru.
33 hal. (tidak diterbitkan).
Todd, D. K., 1980. Groundwater
hydrology, John Wiley & Sons, Inc., 2nd edition, New York
Triatmodjo. B., 1996, Hidraulika
I. Beta offset.
Yogyakarta.
ANONIMOUS.
2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. No. 5 1 Tahun 2004. Tentang : Baku Mutu Air Laut. 2004.
11 hal.
Hidayat,aA.a2009.AsiditasadanaAlkalinitasa http://environmentalaua.blogspot.com/2009/04/asiditas-dan-alkalinitas.htmlDiakses
tanggal 19 Oktober 2009.
HUET,
H.B.N. 1970. Water Quality Criteria for Fish Life Bioiogical Problems in Water Pollution.
PHS. Publ. No. 999-WP-25. 160-167 pp.
JONES,
H.R.E. 1964. Fish and River Pollution. Buther Worth. London : 203 pp.
ODUM,
E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Saunder Com. Philadelphia 125
pp.
PESCOD,
M. D. 1973. Investigation of Rational Effluen and Stream Standards for
Tropical Countries. A.I.T. Bangkok, 59 pp
SALMIN.
2000. Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Sungai Dadap, Goba, Muara Karang dan
Teluk Banten. Dalam : Foraminifera Sebagai Bioindikator Pencemaran, Hasil
Studi di Perairan Estuarin Sungai Dadap, Tangerang (Djoko P. Praseno, Ricky
Rositasari dan S. Hadi Riyono, eds.) P3O - LIPI hal 42 - 46
SAWYER,
C.N and P.L., MC CARTY, 1978. Chemistry for Environmental Engineering. 3rd
ed. Mc Graw Hill Kogakusha Ltd.: 405 - 486 pp.
SWINGLE,
H.S. 1968. Standardization of Chemical Analysis for Water and Pond Muds. F.A.O.
Fish, Rep. 44, 4 , 379 - 406 pp.
WARDOYO,
S.T.H. 1978. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan
Perikanan.
Dalam : Prosiding Seminar Pengendalian Pencemaran Air. (eds Dirjen
Pengairan Dep. PU.), hal 293-300.
WIROSARJONO,
S. 1974. Masalah-masalah yang dihadapi dalam penyusunan criteria kualitas air
guna berbagai peruntukan. PPMKL-DKI Jaya, Seminar Pengelolaan Sumber
Daya Air. , eds. Lembaga Ekologi UNPAD. Bandung, 27 - 29 Maret 1974,
hal 9 - 15
0 komentar:
Posting Komentar